Wapadai Hemofilia Sebelum Terlambat


Asep Ruswiadi (44) sebelumnya tak mengerti kalau putra sulungnya, Muhammad Ade nastyar (18), terkena penyakit hemofilia. Bercak lebam yang sering muncul di kaki dan tangan Ade ketika kecil disangka perbuatan makhluk halus. Bukannya dibawa ke fasilitas layanan pengobatan malah dibawa ke dukun.

Bukanya sembuh, tapi lebamnya malah justru tambah parah sampai pada akhirnya hilang dengan sendirinya. Kemudian, pada usia satu tahun, setiap bangun tidur, kasur dan bantal Ade selalu membekas noda darah. Tapi, Asep masih belum terpikir untuk membawa Ade ke dokter.

Sampai pada usia 7 tahun, terjadi luka parah pada bagian siku Ade. Ketika itu dibawa Asep ke puskesmas. Tapi ketika dibawa lagi ke puskesmasuntuk membuka perban, Ade dirujuk ke rumah sakit.

”Dari situ, saya mulai bertanya, kenapa hanya untuk membuka perban harus dirujuk ke rumah sakit,” kata Asep. Ia tidak langsung membawa Ade ke rumah sakit sebelum diiberi penjelasan. Tapi, karena siku Ade membengkak, Asep dan istrinya berangkat ke rumah sakit.

Ketika sampai dirumah sakit, saat perban dibuka siku Ade banyak mengeluarkan darah dan tak henti-henti. Ketika itu juga, Ade di haruskan menjalani operasi. Aseppun menyepakati setelah mengetahui bila putranya menderita hemofilia. ”Saya bersyukur akhirnya tahu sehingga penanganan selanjutnya bisa tepat,” tutur Asep, Senin (1/9).

Dokter dari Divisi Hematologi dan Onkologi Anak RS Umum Daerah (RSUD), Rini Purnamasari, menyampaikan, minimnya pengetahuan masyarakat terkait hemofilia mengakibatkan penanganan yang dilakukan menjadi salah kaprah. Akibatnya, sebagian besar pasien baru berobat ke RS dalam kondisi parah.

Di wilayah Banten, ada 33 pasien penderita hemofilia. 50% lebih yang datang ke dokter setelah kondisi pasien memburuk. Di Indonesia, penderita hemofolia diperkirakan ada sekitar 20.000 orang. Tapi, baru 1.737 orang yang tercatat. ”Biasanya datang kakinya sudah pincang, jalan saja susah,” jelas Rini.

Hemofilia adalah penyakit yang terjadi pada sistem pembekuan darah. Pendarahan umumnya sulit berhenti yang terjadi pada jaringan lunak dan persendian yang ditandai oleh munculnya lebam. Biasanya yang paling rawan pada bagian lutut. Oleh sebab itu, penderita hemofilia dilarang menjalani aktivitas yang intensitas gerak tinggi.

Penyakit ini termasuk penyakit keturunandari ibu ke anak laki-lakinya, dalam konteks ini, ibu tak menderita hemofilia, hanya membawwa gennya.

Rini menjelaskan, hemofilia bisa dilihat sejak anak masih balita. Biasanya, saat mulai merangkak, lebam akan muncul di sekitar lutut. Lalu, perdarahan susah berhenti saat giginya tumbuh. Tanda lain adalah perdarahan di hidung atau dikenal dengan mimisan dengan frekuensi sering. ”Kalau melihat gejala itu, segera bawa anak ke dokter agar bisa segera tertangani. Jika tak segera ditangani, anak bisa cacat, bahkan meninggal,” ujarnya.

Berhubungan dengan itu, beberapa orang tua dari anak yang menderita hemofilia mendirikan Tim Pelayanan Terpadu Hemofilia-Himpunan Masyarakat Hemofilia Indonesia Banten, yang berada di RSUD Tangerang. Mereka menyebarkan informasi terkait hemofilia dan menggalang bantuan agar pasien tak terlambat ditangani.

Selain kurangnya informasi, yang menjadi tantangan lainya yaitu biaya terapi yang mahal. Untuk sekali terapi bisa mencapai 40jt. Bagi pasieb yang menjadi peserta BPJS, biaya terapi ditanggung. Untuk kedepan semestinya biasa tidak menjadi kendala lagi.